Revolusi industri 4.0 tidak bisa dibantah lagi. Dunia pendidikan pun harus merespons cepat dan mau berubah. Jangan sampai, manusia tertinggal jauh dari mesin atau teknologi digital. Proses pembelajaran pun harus mampu menghasilkan anak didik atau lulusan yang kompeten. Pendidikan yang berbasis kompetensi dan kreativitas.
Sungguh, mencari cara untuk membenahi dunia pendidikan di Indonesia tidak mudah. Dunia pendidikan makin dihadapi tantangan besar. Belum lagi mencari cara yang pas untuk merespons era revolusi industri 4.0. Berharap adanya kualitas pendidikan di Indonesia bisa jadi masih angan-angan. Terlalu banyak batu sandungan, membuat dunia pendidikan terus-menerus jadi polemik. Mulai dari soal kekerasan di sekolah, kurikulum, kualitas guru, model pembelajaran, hingga korupsi di dunia pendidikan.
Suka tidak suka, era pendidikan 4.0 harus didengungkan. Pendidikan yang mampu merespons otomatisasi, digitalisasi, dan kecerdasan buatan adalah harga mati. Hanya pendidikan berbasis kompetensi dan kreativitas yang bisa mengimbangi laju revolusi industri 4.0.
Di Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2019, inilah momentum semua pihak untuk berpikir ulang tentang cara memajukan pendidikan Indonesia. Pendidikan harus dipandang sebagai ikhtiar kolektif seluruh bangsa. Pendidikan tidak bisa dipandang sebagai sebuah program semata. Semua elemen masyarakat harus terlibat untuk membenahi dan memajukan dunia pendidikan. Urusan pendidikan, masyarakat harus merasa memiliki, pemerintah harus memfasilitasi, dunia bisnis harus peduli, pendidik dan anak didik harus menyadari makna pendidikan yang sebenarnya.
Pendidikan 4.0 harusnya dilandasi dengan “gerakan” yang bertumpu pada rasa memiliki dari semua pihak terhadap masa depan pendidikan. Pendidikan bukan sekadar “program” yang dianggap sebagai kegiatan dan tanggung jawabnya terbatas pada para pelaksana pendidikan. Tapi, semua pihak harus mau dan bersedia menjadi bagian dari ikhtiar untuk menyelesaikan problematika pendidikan.
Era pendidikan 4.0 intinya mengajak kita untuk melakukan introspeksi diri, mengukur apa yang sudah benar dan apa yang masih salah dalam proses pendidikan selama ini.
Era pendidikan 4.0, mau tidak mau, mendesak dunia pendidikan untuk berpikir ulang dan merevitalisasi pendidikan yang bertumpu pada:
Pertama, revitalisasi sekolah sebagai sentra pendidikan yang mandiri dan berkarakter. Sekolah seharusnya menjadi penentu arah pembelajaran yang berbasis proses dan rasa cinta, agar siswa menjadi pribadi yang mandiri dan berkarakter. Sekolah bukan pelaksana kurikulum, melainkan harus mampu menjadi basis pengembangan budaya dan karakter siswa.
Ketiga, kesetaraan sebagai orientasi pendidikan, bukan kesempurnaan. Praktik dan perilaku belajar harus didorong untuk membangun kesetaraan, bukan kesempurnaan. Orientasi pendidikan adalah membangun kerjasama, bukan kompetisi antar siswa. Belajar bukan sarana untuk mencapai nilai tinggi, melainkan untuk membangkitkan gairah siswa dalam belajar. Kegiatan belajar bukan bergantung pada “kunci jawaban”, tetapi bertumpu pada “pengertian”.
Keempat, siswa berpegang pada proses dalam belajar, bukan hasil belajar. Proses agar siswa berani bertanya dan tidak takut salah. Karena dengan cara itu, siswa akan mampu mengeksplorasi potensi diri, di samping dapat memacu kreativitas dalam belajar. Hasil belajar bukan satu-satunya indikator keberhasilan siswa dalam belajar.
Kelima, pendidikan harus dipandang sebagai ikhtiar kolektif. Adanya kesadaran akan makna pendidikan dan upaya bersama menyelesaikan problematika pendidikan. Semua elemen masyarakat harus terlibat dalam proses dan dinamika pendidikan. Karena pendidikan bukan sekadar program, melainkan gerakan moral bersama untuk memajukan harkat dan martabat bangsa.
Keenam, pendidikan adalah mitra revolusi industri 4.0. Kemajuan teknologi dan digitalisasi menjadi pemantik akan pentingnya perubahan di dunia pendidikan. Karena produk pendidikan harus mampu menangani perkembangan teknologi sepesat apapun.
Maka, pendidikan 4.0 dalam praktiknya tidak boleh menjejali siswa dengan beragam materi pelajaran. Pendidikan bukan untuk mengejar nilai semata, lalu melupakan proses. Pendidikan 4.0 hakikatnya bukan hanya menjadikan produk sekolah dan perguruan tinggi sebagai “jawaban” atas masalah kemanusiaan.
syarif-yunus
Tinggalkan Komentar